Dalam perspektif Islam, disempurnakannya ajaran agama Islam merujuk pada keyakinan bahwa dengan turunnya wahyu terakhir kepada Nabi Muhammad ﷺ, agama Islam telah mencapai kesempurnaan sebagai petunjuk hidup bagi manusia. Konsep ini paling jelas termaktub dalam Al-Qur’an surat al-Mā’idah ayat 3:
“Hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
Ayat ini diturunkan pada tahun ke-10 Hijriyah, saat Nabi Muhammad ﷺ melakukan wukuf di Arafah pada haji wada‘ (perpisahan). Dengan demikian, momen tersebut menjadi tonggak penting bahwa segala ajaran pokok—tauhid (keesaan Allah), syariah (hukum Islam), akhlak, ibadah, serta pedoman muamalah (interaksi sosial dan ekonomi)—telah lengkap, memadai, dan tidak memerlukan penambahan wahyu baru.
1. Kesempurnaan Sumber Hukum
Sebelum turunnya ayat tersebut, pendidikan dan pedoman hidup umat Islam masih terus berkembang melalui wahyu yang secara bertahap diturunkan. Dengan ayat al-Mā’idah 3, semua ajaran utama sudah termaktub secara jelas di dalam Al-Qur’an dan ditafsirkan dengan Sunnah Nabi. Ini berarti tidak ada lagi nash (teks wahyu) yang terlewat atau diperselisihkan mengenai rukun iman dan rukun Islam, hukum-hukum ibadah, akad pernikahan, hukum pidana, dan etika sosial. Para ulama dan mujtahid kemudian mengembangkan fiqh (hukum Islam) dengan merujuk pada dua sumber utama tersebut, tanpa menunggu wahyu tambahan.
2. Ruang Lingkup Kesempurnaan
Kesempurnaan ajaran Islam mencakup dua dimensi utama:
3. Implikasi Sosial dan Spiritualitas
Dengan diyakininya kesempurnaan ajaran ini, umat Islam memiliki kepastian bahwa mereka tidak akan keliru jika terus merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini melahirkan kesadaran bahwa proses ijtihad (penafsiran dan penerapan hukum) adalah upaya memahami secara terbaik teks yang telah final, bukan menciptakan ajaran baru. Konsep tajdid (pembaharuan) dalam Islam pun tidak berarti mengganti substansi ajaran, melainkan mengembalikan umat pada implementasi ajaran yang murni sesuai konteks zaman.
Secara spiritual, keyakinan bahwa agama telah sempurna memberikan ketenteraman batin. Seorang Muslim tidak merasa kehilangan pedoman ketika menghadapi dinamika kehidupan—dengan dalil bahwa semua situasi, baik persoalan ekonomi, interaksi sosial, maupun tantangan moral, sudah diatur dalam kerangka yang sempurna. Umat Islam pun didorong untuk menjalankan ajaran tersebut dengan titik berat memelihara keikhlasan ibadah dan menjalin ukhuwah (persaudaraan) tanpa terpecah belah oleh perbedaan ijtihad yang masih dalam koridor Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Tantangan dan Pelestarian
Meski dianggap sempurna, ajaran Islam tetap menghadapi tantangan interpretasi. Perbedaan mazhab fiqh dan pemikiran teologis muncul sebagai akibat keberagaman pemahaman. Namun, hal ini sejatinya wajar—karena teks Al-Qur’an dan Hadis bersifat universal dan memerlukan penyesuaian dengan konteks lokal. Selama ijtihad dilakukan dengan metodologi yang benar—menggunakan kaidah ushul fiqh dan prinsip tafsir—kemajemukan tidak mengurangi keyakinan bahwa ajaran itu sendiri sudah lengkap.
Kesimpulan
Disempurnakannya ajaran Islam menegaskan bahwa umat Muslim memiliki pegangan sempurna berupa Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Ini bukan semata-mata poin doktrinal, melainkan fondasi bagi kehidupan moral, sosial, dan spiritual yang menyeluruh. Dengan kesadaran ini, setiap individu diharapkan terus memperdalam pengertian terhadap ajaran tersebut, menjaga kesucian teks, dan menerapkannya secara selektif sesuai konteks tanpa menambah atau mengurangi substansi. Dengan demikian, pesan kesempurnaan Islam terus diwariskan dari generasi ke generasi sebagai pedoman abadi yang komprehensif dan relevan sepanjang zaman.
Dari berbagai sumber.
Luas Area | 75 m2 |
Luas Bangunan | 44 m2 |
Status Lokasi | HPL |
Tahun Berdiri | 1995 |